Dibalik megahnya kota
metropolitan, gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, sekolah-sekolah
internasional, dan segala kemudahan akses di kota, terdapat banyak masyarakat
marginal di tengah kota. Marjinal sendiri berasal dari bahasa Inggris
‘marginal’ yang berati jumlah dan pengaruhnya sangat kecil. Kata marjinal juga
identik dengan masyarakat kecil kelompok pra-sejahtera. Kelompok masyarakat ini
tersisih atau terabaikan dari segala perbangunan dan perkembangan kota sehingga
tidak dapat menikmati segala keistimewaan kehidupan kota. Beberapa kriteria
atau indikator kaum marjinal, seperti: pengemis, petani, pemulung, buruh (outsourcing), orang-orang yang
berpendapatan pas-pasan bahkan kekurangan.
Walaupun identik dengan
penderitaan, masyarakat marjinal juga identik dengan kerja keras. Bahkan
anak-anak kecil sekalipun, mereka selayaknya bukan dibebani dengan pekerjaan
keras melainkan pengembangan diri dan kreativitas. Namun, kenyataan berkata
lain terhadap mereka. Kami melakukan observasi terhadap anak jalanan penjual
tissue, tidak jauh dari kampus pusat UI, di jalan Margonda Raya lebih tepatnya
di area jembatan penyebrangan Margo City Mall-Depok Town Square.
Ditengah teriknya matahari,
anak-anak penjual tissue ini sudah siap untuk berjualan tissue. Dari beberapa
anak yang kami wawancarai mengakui bahwa pagi hari mereka pergi bersekolah di
sekolah gratis Master (Masjid Terminal). Sekolah gratis tersebut merupakan contoh
kepedulian dari anak bangsa akan kaum marjinal, buruh anak, yang
diimplementasikan dalam bentuk pendirian sekolah untuk membekali anak-anak
jalanan di area terminal dengan pendidikan. Dari seluruh anak-anak penjual
tissue yang kami wawancarai mengakui bahwa mereka tinggal di Terminal Depok. “Saya
engga sekolah ka, bajunya saya, dipinjam teman” ujar Ocang, salah satu anak
penjual tissue kepada kami. Antusias para anak jalanan ini untuk belajar pun
ternyata belum begitu tinggi bahkan pada saat kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan sudah di depan mata. Mereka menganggap bahwa mimpi akan masa depan
yang cerah itu hanya hak orang ‘berada’. Begitu berakar masalah kemiskinan
hingga membuat seseorang tidak bisa lagi melihat segala potensi yang ada dalam
dirinya. Mereka ditempa oleh kenyataan hidup untuk bekerja keras, menghasilkan
uang (untuk hidup hari ini) adalah satu-satunya prioritas.
Ditengah observasi tersebut,
saya mengamati keadaan para anak jalanan tersebut, menyadari betapa malangnya mereka
dan pada waktu yang bersamaan saya sangat bersyukur dengan keadaan saya. Walaupun
sangat iba hati saya melihat kondisi para anak jalanan tersebut dan tahu bahwa
mereka menjual tissue karena terpaksa, saya percaya bahwa aksi memberikan
‘receh’ lebih yang kita punya kepada anak-anak ini tidak akan menyelesaikan
masalah. Memberikan sedikit uang dengan
maksud baik kepada anak-anak ini pun akan dapat menciptakan masalah baru; hal
ini akan menciptakan rasa ‘legowo’ atau menerima nasib dan merasa PUAS dengan
keadaan mereka, hal ini juga dapat menarik lebih banyak lagi anak-anak penjual
tissue dengan harapan di pusat kota mereka dapat mendapat menjual tissue mereka
atau bahkan dengan cuma-cuma mendapatkan uang. Saya percaya memberikan sedikit
uang kepada anak-anak jalanan ini bukan jawaban untuk menolong mereka.
Bisa kita bayangkan betapa
malangnya nasib para anak jalanan ini? Sedari kecil, bahkan pada saat mereka
menyusui, mereka sudah hidup dijalanan. Setiap hari yang mereka lihat hanya
jalanan, hiruk-pikuk terminal, mereka bahkan tertidur dipangkuan ibunya yang
mengemis di jalanan atau jembatan. Mereka tidak pernah diberikan kesempatan
untuk melihat potensi diri mereka. Kami tidak bisa salahkan Ocang yang tidak
begitu memiliki antusias yang besar untuk bersekolah. Ingin salahkan orang
tuanya pun tidak bisa. Fenomena ini merupakan tali berantai yang saling
berkaitan. Orang tua mereka pun sama, mereka berasal dari keluarga miskin yang
tidak pernah sekalipun berpikir untuk pernah keluar dari keterpurukan mereka.
Dengan kata lain, memberikan receh bukan menjadi penyelesaian tetapi justru
membuat keterpurukan tersebut berlangsung secara permanen.
“Kami mengarahkan mereka supaya
tidak berjualan di depan Mall dan menggangu jalan, tapi mengusir mereka supaya
mereka tidak berjualan sama sekali, kami tidak punya hak”, begitu ucap salah
satu petugas keamanan jalan (dari Margo City Mall) yang kami wawancarai.
Ternyata upaya pengarahan pun belum bisa dilakukan. Pemerintah dalam hal ini
harus membuat langkah kebijakan sebagai solusi dan peraturan yang tegas. Karena
banyaknya anak-anak jalanan maupun pengemis mengurangi keindahan kota. Namun,
mengusir mereka juga bukan merupakan solusi.
Dimana, saat di negara ini
berlaku sistem yang hanya pro pada pengusaha kaya dan para penguasa. Kita tidak
bisa hanya berpangku manis dan saling menyalahkan karena bagaimanapun mereka
adalah bagian dari kita. Kita generasi muda beruntung yang memiliki kesempatan
menjadi kaum intelektual. Kitalah yang diharapkan dapat menciptakan terobosan perubahan
dan perbaikan bagi lingkungan masyarakat sekitar kita.
Observasi PSAK FISIP UI 2014 - KELOMPOK 65
Observasi PSAK FISIP UI 2014 - KELOMPOK 65