Labels

Sunday 1 October 2017

Lelucon Dosen Kekinian


Dosen, kau butuh apa dari mahasiswamu?
Dosen kekinian kami ini, tanggapnya.
Kuantitas di atas kualitas nalarmu!
Itu yang dicari dosen kekinian jaman sekarang.

Review buku-buku itu semua!
Tugas review bisa kau samaratakan
dengan merangkum semasa sekolah dulu

Cukup poin per poin
tak penting kau selipkan dalam review itu
daya nalarmu apalagi kemampuan berpikir kritis
Cukup rangkum sebanyak-banyaknya buku
Amini isi buku-buku itu untuk masa depanmu
Agar engkau menjadi administrator ideal
di kemudian hari.


~Balada mahasiswa Administrasi Negara Semester 7

Saturday 9 September 2017

Ada yang salah dengan sopan santun versi Indonesia?

"Sekolah wajib terapkan penguatan pendidikan karakter" begitulah judul berita yang dimuat oleh salah satu kantor berita dalam negeri antaranews.com. Pertanyaannya untuk kita bersama sekarang, pendidikan karakter yang seperti apa?

Masih ingat ketika anda masih duduk dibangku SD dulu? Atau mungkin ada salah satu dari anda masih duduk di bangku SD nyasar ke tulisan ngawur ini. Sejak dari SD kita sudah ditanamkan nilai sopan santun, yang arti dari sopan santun itu sendiri sepertinya sudah kabur di otak saya ini.

Entah ini mau diberi judul sopan santun ala Jawa dengan teori hegemonisasi di Indonesianya, atau ada yang beri label sopan santun ala ketimuran (entah timur yang mana?), atau ini sopan santun ala negara bekas kolonialisme beratusan tahun? Wacana sopan santun ini tidak akan dikulik dari segi dialektisnya.

Di Indonesia, mengajarkan sopan santun sejak dini menjadi hal yang paling penting dalam fase tumbuh kembang dan pembelajaran anak. Prioritas ini dikalangan orang tua dapat dipahami karena orang tua sang anak juga dididik dan dibesarkan dengan cara itu. Mencium tangan orang yang lebih tua adalah salah satu contohnya. Saya menilai tidak ada yang salah dengan itu.

Namun, sampai pada derajat tertentu nilai sopan santun di Indonesia punya potensi besar untuk menumpulkan daya berpikir kritis anak. Kenapa demikian? Sejarah tentu banyak berperan terhadap bagaimana kita bertindak dan menentukan aksi kita di masa yang mendatang.

Banyak orang tua di Indonesia mendambakan anak yang penurut. Tapi kenapa tidak pernah mendambakan anak yang kritis? Hal ini kelihatannya mustahil, karena yang kritis itu dianggap sebagai pembangkang yang harus direpresi. Kerapkali orang tua menyuruh sang anak untuk melakukan sesuatu atau bahkan melarangnya untuk melakukan suatu hal tanpa merasa perlu menjelaskan kenapa "harus dilakukan" atau "dilarang", karena orang tua memakai kacamata pintar orang dewasa and take it for granted that it is obvious bahwa suatu hal harus anaknya lakukan atau tidak boleh lakukan.

Contoh: "Taruh mainanmu ke tempatnya, jangan taruh ini sembarangan di lantai"

Ekspektasi orang tua di Indonesia adalah anak yang penurut dan selalu menuruti apa yang diperintah oleh mereka. Dan jika anak itu bertanya "kenapa?". Ini bisa masuk kategori anak yang kurang "dididik". Atau misalnya mempertanyakan apa yang disuruh orang tua, bagi banyak orang tua batak (seperti Mama saya sendiri), adalah suatu tindakan yang melawan orang tua dan tidak bisa diterima.

Orang tua yang tidak bisa menerima pertanyaan dari anaknya kenapa dia harus melakukan sesuatu atau dilarang untuk melakukan sesuatu, adalah orang tua yang bergaya tidak lain seperti Tuhan. Anak dilihat sebagai objek kepemilikannya dan absolutisme apa yang orang tua katakan adalah benar harus ditaati sang anak.

Bayangkan ratusan tahun negara ini terbiasa harus melakukan sesuatu dan dilarang melakukan sesuatu oleh negara penjajahnya, bertanya adalah sebuah perlawanan. Ibaratnya relasi seperti ini seperti sudah mendarah daging.

Pola ekspektasi sopan santun seperti demikian tidak hanya berlaku pada hubungan anak-orang tua saja, begitu pula di sekolah antara guru-siswa, dosen-mahasiswa. Jika nilai sopan santun yang demikian yang dipegang teguh dikalangan civitas akademis, hal ini tentu bisa mengancam tumpulnya perkembangan ilmu pengetahuan.
Apakah jabat tangan seperti ini tidak sopan?
Dianggap sebagai nilai kebaratan?

Tidak penting apakah pembaca menganggap tulisan ini condong ke nilai barat, tapi yang penting adalah kita harus memformulasikan kembali nilai sopan santun seperti apa yang kita inginkan untuk anak, cucu kita ke depan. Apakah anak yang selalu menuruti segala perkataan orang tuanya tanpa pernah berani atau belajar untuk memahami mengapa dia harus melakukan atau tidak melakukan suatu hal?

Nilai sopan santun yang selama ini dianggap penting sebagai suatu kondisi dimana anak atau siswa selalu menuruti apa kata orang yang lebih tua, hal ini justru bisa menjadi boomerang tersendiri bagi lahirnya generasi muda yang dibesarkan tanpa ruang untuk bertanya dan diberi penjelasan: generasi fanatik.



Tuesday 7 February 2017

Hari Pertama di Semester 6

Semesta dorong saya untuk pikirkan blog usang ini. Biar ia tidak seperti rumah kosong yang lama tak dihuni yang empunya, baiknya aku isi dia. Ini hanya bisa dan baiknya memang dilakukan pelan-pelan saja.

Sedang malas untuk berpikir "labirin" kali ini.

Posisi tengkurang di atas kasur, Ini jam dua belas malam. Coba membuka loker memori di otak saya. Hari ini saya sudah ngapain saja.

Bangun begitu siang. Jam 9:30. Gila pikir saya, begitu lelahnya saya. Masih begitu jelas bekas keletihan lima hari IFW.

Mata kuliah hari ini: (1) Administrasi Perkotaan; (2) Administrasi Lingkungan. Kebetulan saya sedang menimba ilmu administrasi di UI. Tidak mengherankan semua serba 'administrasi'. Administrasi ini jangan sampai salah kamu memknainya. Tapi ku sedang malas bahasnya. Nanti ada satu postingan khusus membahas tentang itu.

Di sela kelas, bertemu seorang teman yang baru saja, sabtu kemarin, diwisuda. Sekarang judul S,Sos itu sudah bisa disematkan ke penghujung namanya. Teman saya lulus 3,5 tahun dengan IP yang juga baik. Walau saya paling tidak peduli dengan IP.

Bicara ngalor-ngidul mulai dari [malas juga bahasnya, sudah lupa]. Intinya bicara seru sampai harus berpisah. Saya dengan kelas dia. Dia dengan pengurusan berkas-berkas kelulusan untuk keperluan melamar kerja.

[woah sudah mulai ngantuk juga saya menulis sambil tengkurap]

Sehabis kelas, lanjut lagi kami bertemu di Tangling perpusat, ngalor-ngidul lagi. Sampai jam enam saja dia bersama saya. Selebihnya saya habiskan dengarkan bandaneira dan membaca sampai gelap menyapa.

Jam sembilan ku pulang... membaca...

<selebihnya saya ketiduran>

Monday 6 February 2017

Kembali lagi setelah sekian lama

Judul di atas agaknya bisa salah makna.


Blog ini tidak pernah benar-benar saya gunakan untuk mencurahkan isi pikiran (atau hati) saya. Dulu (tahun 2014) blog ini dibuat, semata-mata untuk posting tugas kelompok jadi Maba di FISIP UI.

Miris memang.

Jika anda tersesat di dunia maya pada tulisan di blog ini, saya turut berduka untuk anda. Blog ini kosong isinya.

Tidak seperti anak FISIP lainnya yang lumrah menulis di blog. Saya kerap menulis di platform lain. Tapi agaknya sekarang ini timbul nafsu diri untuk menulis pada platform seperti pada blog ini. Mubazir kalo dinonaktifkan dan buat baru.

Saya tidak tahu juga apakah lanturan yang saya tulis pada blog ini bakal ada peminat atau tidak. Blog ini akan jadi kertas lusuh penampung lamunan di kala sedang "mangautis ria". Ada manfaatnya buat saya, tapi saya harap bisa juga bermanfaat buat yang baca.

Awal saya mendaftar diri buat blog ini itu saya masih MABA. Sekarang sudah semester 6. Astaga kemana saja kau? Lupa nulis? Umurmu sudah terlalu tuakah?

Maklumkan saya.

Saya berikhtiar pada diri sendiri, mulai dari sekarang untuk setidaknya seminggu sekali menulis atau post apa saja di blog ini. Semoga bukan berakhir sekedar ingin saja, tapi dilaksanakan demikian.

Sampai jumpa di postingan selanjutnya...



Tuesday 26 August 2014

Mereka yang Tersingkirkan






Dibalik megahnya kota metropolitan, gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, sekolah-sekolah internasional, dan segala kemudahan akses di kota, terdapat banyak masyarakat marginal di tengah kota. Marjinal sendiri berasal dari bahasa Inggris ‘marginal’ yang berati jumlah dan pengaruhnya sangat kecil. Kata marjinal juga identik dengan masyarakat kecil kelompok pra-sejahtera. Kelompok masyarakat ini tersisih atau terabaikan dari segala perbangunan dan perkembangan kota sehingga tidak dapat menikmati segala keistimewaan kehidupan kota. Beberapa kriteria atau indikator kaum marjinal, seperti: pengemis, petani, pemulung, buruh (outsourcing), orang-orang yang berpendapatan pas-pasan bahkan kekurangan.
Walaupun identik dengan penderitaan, masyarakat marjinal juga identik dengan kerja keras. Bahkan anak-anak kecil sekalipun, mereka selayaknya bukan dibebani dengan pekerjaan keras melainkan pengembangan diri dan kreativitas. Namun, kenyataan berkata lain terhadap mereka. Kami melakukan observasi terhadap anak jalanan penjual tissue, tidak jauh dari kampus pusat UI, di jalan Margonda Raya lebih tepatnya di area jembatan penyebrangan Margo City Mall-Depok Town Square.
Ditengah teriknya matahari, anak-anak penjual tissue ini sudah siap untuk berjualan tissue. Dari beberapa anak yang kami wawancarai mengakui bahwa pagi hari mereka pergi bersekolah di sekolah gratis Master (Masjid Terminal). Sekolah gratis tersebut merupakan contoh kepedulian dari anak bangsa akan kaum marjinal, buruh anak, yang diimplementasikan dalam bentuk pendirian sekolah untuk membekali anak-anak jalanan di area terminal dengan pendidikan. Dari seluruh anak-anak penjual tissue yang kami wawancarai mengakui bahwa mereka tinggal di Terminal Depok. “Saya engga sekolah ka, bajunya saya, dipinjam teman” ujar Ocang, salah satu anak penjual tissue kepada kami. Antusias para anak jalanan ini untuk belajar pun ternyata belum begitu tinggi bahkan pada saat kesempatan untuk mendapatkan pendidikan sudah di depan mata. Mereka menganggap bahwa mimpi akan masa depan yang cerah itu hanya hak orang ‘berada’. Begitu berakar masalah kemiskinan hingga membuat seseorang tidak bisa lagi melihat segala potensi yang ada dalam dirinya. Mereka ditempa oleh kenyataan hidup untuk bekerja keras, menghasilkan uang (untuk hidup hari ini) adalah satu-satunya prioritas.

Ditengah observasi tersebut, saya mengamati keadaan para anak jalanan tersebut, menyadari betapa malangnya mereka dan pada waktu yang bersamaan saya sangat bersyukur dengan keadaan saya. Walaupun sangat iba hati saya melihat kondisi para anak jalanan tersebut dan tahu bahwa mereka menjual tissue karena terpaksa, saya percaya bahwa aksi memberikan ‘receh’ lebih yang kita punya kepada anak-anak ini tidak akan menyelesaikan masalah. Memberikan sedikit uang  dengan maksud baik kepada anak-anak ini pun akan dapat menciptakan masalah baru; hal ini akan menciptakan rasa ‘legowo’ atau menerima nasib dan merasa PUAS dengan keadaan mereka, hal ini juga dapat menarik lebih banyak lagi anak-anak penjual tissue dengan harapan di pusat kota mereka dapat mendapat menjual tissue mereka atau bahkan dengan cuma-cuma mendapatkan uang. Saya percaya memberikan sedikit uang kepada anak-anak jalanan ini bukan jawaban untuk menolong mereka.
Bisa kita bayangkan betapa malangnya nasib para anak jalanan ini? Sedari kecil, bahkan pada saat mereka menyusui, mereka sudah hidup dijalanan. Setiap hari yang mereka lihat hanya jalanan, hiruk-pikuk terminal, mereka bahkan tertidur dipangkuan ibunya yang mengemis di jalanan atau jembatan. Mereka tidak pernah diberikan kesempatan untuk melihat potensi diri mereka. Kami tidak bisa salahkan Ocang yang tidak begitu memiliki antusias yang besar untuk bersekolah. Ingin salahkan orang tuanya pun tidak bisa. Fenomena ini merupakan tali berantai yang saling berkaitan. Orang tua mereka pun sama, mereka berasal dari keluarga miskin yang tidak pernah sekalipun berpikir untuk pernah keluar dari keterpurukan mereka. Dengan kata lain, memberikan receh bukan menjadi penyelesaian tetapi justru membuat keterpurukan tersebut berlangsung secara permanen.
“Kami mengarahkan mereka supaya tidak berjualan di depan Mall dan menggangu jalan, tapi mengusir mereka supaya mereka tidak berjualan sama sekali, kami tidak punya hak”, begitu ucap salah satu petugas keamanan jalan (dari Margo City Mall) yang kami wawancarai. Ternyata upaya pengarahan pun belum bisa dilakukan. Pemerintah dalam hal ini harus membuat langkah kebijakan sebagai solusi dan peraturan yang tegas. Karena banyaknya anak-anak jalanan maupun pengemis mengurangi keindahan kota. Namun, mengusir mereka juga bukan merupakan solusi.
Dimana, saat di negara ini berlaku sistem yang hanya pro pada pengusaha kaya dan para penguasa. Kita tidak bisa hanya berpangku manis dan saling menyalahkan karena bagaimanapun mereka adalah bagian dari kita. Kita generasi muda beruntung yang memiliki kesempatan menjadi kaum intelektual. Kitalah yang diharapkan dapat menciptakan terobosan perubahan dan perbaikan bagi lingkungan masyarakat sekitar kita. 


Observasi PSAK FISIP UI 2014 - KELOMPOK 65